Rakyat Tempat Pelarian?
Oleh: Alban HK*
TIDAK salah jika seseorang penguasa mendekat kepada rakyatnya di kala butuh dukungan, ketika tertimpa berbagai kesulitan.
Bukankah suara rakyat adalah suara Tuhan , Penggembira, dan Penolong? Namun pantaskah seseorang penguasa ingat dan mengiba kepada rakyatnya hanya di kala ada kepentingan tertentu, sementara di waktu terpilih tidak pernah mengingat rakyatnya, membantu sebagimana mestinya, dan berterimakasih yang bukan hanya sekedar berterimakasih? Coba saja bayangkan dan analogikan dengan kehidupan saat ini. Sejatinya seorang pemimpin yang penuh kasih tentu selalu berlapang dada menerima keluh kesah rakyat yang dipimpinya yang dirundung masalah. Namun sungguh terkadang para penguasa itu menganggap rakyat yang dipimpinya tidak bermoral dan akan dinilai menyimpang ketika protes terjadi dimana-mana secara anarkis lalu kemudia dianggap tidak menghormatinya dan tidak taat kepada hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku.
Demikianlah, dalam kehidupan masyarakat kita saat ini banyak terjadi perilaku serupa. Mereka rajin bersuara, mengubar janji, berumrah hati bak laksana manusia paling baik di jagat raya ini, dan siap menjadi ratul adil ketika rakyatnya dirundung masalah. Padahal, kita sebagai rakyat biasa sangat tau, seorang penguasa sudah seharusnya mendengar dan melaksanakan apa yang menjadi tuntutan rakyatnya baik di kala sedang buruk maupun baik. Jadi, jangan menjadi seseorang pemimpin yang terkesan sangat dekat dengan rakyatnya jika dia sedang membutuhkan dukungan. Di situlah salah satu rahasia kekuatan rakyat sebenarnya dan menjadi penetu siapa sebenarnya seorang pepmimpin yang memiliki charisma dan karakter. Bahkan penguasa harus ingat kepada rakyatnya terus menerus dilakukan kapan saja, di mana saja sekalipun di meja makan. Penguasa yang baik dan pantas memimpin adalah mengingat dan memikirkan kondisi rakyatnya dan tidak mengenal ruang maupun waktu, sehingga siapa pun dan dalam situasi apa pun, rakyat kelas bawah, menengah, ataupun atas bisa menjumpai pemimpinya untuk mengadukan segala persoalan hidupnya dan nasibnya.
Rakyat dari kelas apapun bebas menjumpai pemimpinya sebagaimana mereka juga bebas untuk menggalang dukungan. Di sinilah penentu seorang pemimpin yang pantas memimpin dan di sini pula keluhuran serta kualitas manusia pemimpin akan teruji. Dalam menghayati apa yang menjadi amanahnya dan cinta kepada rakyatnya, sesungguhnya seseorang pemimpin tengah mengaktualisasikan kemampuanya yang bebaskan diri dari dominasi ego kepentingan tertentu maupun kepentingan pribadii.
Oleh karenanya saat seorang pemimpin berdialog dengan rakyatnya, sesungguhnya pada waktu yang sama seorang pemimpin juga melakukan dialog dengan diri sendiri. Adakah dialog itu dijiwai rasa syukur, rasa penyesalan, penuh tanggungjawab ataukah datar-datar saja, semuanya itu akan berpulang pada kesadaran dan seorang pemimpin. Dengan demikian, ketika seseorang pemimpin tengah melaksanakan tanggungjawabnya, semestinya juga disertai keinginan kuat untuk melakukan perbaikan diri sebab pemimpin akan banyak berbenturan dengan kehendak atas kepentingan-kepentingan tertentu yang sangat kuat melakukan terror jalan pintas membuka dirinya pada kehancuran dan hilangnya kepercayaan masyarakat. Maka fungsi kepemimpinan dan tanggung jawab harus dipahami dan dihayati dan bukan sebagai himpunan tori belaka ketika berusaha meyakinkan masyarakat dengan sejuta janji-janji, bisa dipastikan seorang pemimpin akan kehilangan kharismanya dan kepercayaan rakyatnya jika belum bisa membina diri pribadi dan perilaku baik dalam mendukung bagi terwujudnya masyarakat yang adil, sejahtera, sehat sentosa dan hidup dalam kedamaiyan.
Janji-janji kepada rakyartnya lalu kemudian berubah bagaikan peristiwa yang tidak pernah terjadi disaat mereka terpilih untuk mengamankan posisi ataupun untuk mengawetkan jabatan kepada para pemodal disaat masa kampanye. Rakyat lalu diposisikan sebagai manusia yang tidak pernah ada, bukan lagi sebagai bentuk ekspresi kegelisahan dan cinta perubahan sebagaiamana saat-saat kampanye. Dalam kaitan ini, tidak mengherankan jika para pejabat tinggi negara senang berkonsultasi kepada pemodal dan pihak-pihak tertentu ketimbang kepada rakyatnya secara langsung. Cukup dengan bermain mata dan membuat segudang proyek untuk memenuhi dahaga kerakusan haus kekuasaan. Dalam bentuknya yang lain, kebijakan-kibajakan itu berubah menjadi suap. Sebab, dengan pola kepemipinan kita yang seperti itu, tidak akan mampu dan banyak berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa yang adil dan makmur.
*Rakyat kelas bawa
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda, TIM admin akan segera membalas, dan memberikan jawaban terhadap pertanyaan anda,