Gubernur Awang Tersangka Korupsi ?


JAKARTA - Penyidikan kasus korupsi di Kutai Timur Energi (KTE) yang dilakukan Kejaksaan Agung akhirnya menemui klimaksnya. Setelah menetapkan 5 tersangka, Jumat (9/7), Kejagung mengumumkan bahwa mantan Bupati Kutai Timur yang kini menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak sejak 6 Juli 2010 telah ditetapkan sebagai tersangka. 

Jaksa Agung (Pidana Pidana Khusus (JAM Pidsus) Muhammad Amari menyebutkan, Awang diduga terlibat korupsi karena menyetujui penggunaan uang hasil penjualan 5 persen saham milik Pemkab Kutai Timur di PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang dikelola KTE senilai USD 63 juta atau Rp 576 miliar.Menurut Amari, kebijakan Awang tersebut bertentangan dengan tata cara pengelolaan keuangan daerah yang seharusnya uang disimpan di kas daerah. "Pada tanggal 22 Agustus 2008, Awang Faroek Ishak menghadiri dan memimpin RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) PT KTE di Hotel Grand Melia, Jakarta. Dalam rapat tersebut Awang Faroek mengambil keputusan penggunaan uang hasil saham oleh KTE yang bertentangan dengan tata cara pengelolaan keuangan daerah," katanya dalam jumpa pers di ruang Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung.

Berdasarkan hasil RUPS, menurut mantan JAM Intel ini, uang hasil penjualan saham diinvestasikan ke PT Samuel Sekuritas sebesar Rp 480 miliar, PT CTI (Capital Trade Investment) senilai Rp 72 miliar dan untuk fee konsultasi pajak Dita Satari sebanyak Rp 5,7 miliar. Tindakan Faroek ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1, Pasal 3 ayat 5, Pasal 6 UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara sehingga Pemkab Kutim mengalami kerugian sebesar Rp 576 miliar.

Dijelaskannya, saham 5 persen milik Pemkab Kutim ini merupakan hasil Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) No J2/Ji.D4/16/82 tanggal 8 April 1982 dan Frame Work Agreement tanggal 5 Agustus 2002 antara KPC dengan pemerintah RI. Dikatakan bahwa KPC berkewajiban menjual sahamnya (divestasi) senilai 18,6 persen.

Tanggal 10 Juni 2004 hak membeli saham KPC sebanyak 18,6 persen itu dialihkan ke KTE. KTE, tambah Amari, ternyata juga tak punya uang kemudian dialihkan lagi ke PT Bumi Resources (BR). Sama seperti KPC, dalam kesepakatan tertanggal 23 Februari 2005, BR diwajibkan menjual sebanyak 5 persen kepada KTE. Berdasarkan Frame Work Agreement pemilik saham 5 persen itu adalah Pemkab Kutim, dan seharusnya dicatatkan di kas daerah Pemkab Kutim.

Kemudian pada 14 Agustus 2006, selaku Bupati Kutim, Awang Faroek mengajukan permohonan kepada DPRD Kutim tentang permohonan penjualan 5 persen saham. Dengan dalih mendapat persetujuan dari Pemkab dan DPRD Kutim, Direktur Utama KTE Anung Nugroho --kini telah ditahan Kejagung-- menjual saham tersebut ke PT Kutai Timur Sejahtera (KTS) seharga USD 63 juta atau Rp 576 miliar. Hasil penjualan inilah yang mendasari RUPS tertanggal 22 Agustus 2008.

Hinga kemarin, untuk kasus KTE, selain Awang Faroek, Pidsus Kejaksaan Agung sudah menetapkan 6 tersangka. Anung dan Direktur KTE Apidian Triwahyudi lebih dulu jadi tersangka kemudian ditahan pada 26 Mei. Sekitar sepuluh hari lalu, kejaksaan juga mengumumkan telah menetapkan tersangka terhadap Dita Satari (Dirut PT Ditara Saidah Tresna), Tatang M Tresna (Direktur PT Ditara Saidah Tresna), dan Hendra Setiawianto (Kepala Bidang Hubungan Teknis dan Konsultan Pajak Kanwil Ditjen Pajak Nusa Tenggara).

Hendra, Tatang, dan Dita diduga kuat merugikan negara mencapai Rp 25 miliar karena menggelapkan pajak dalam proses penjualan saham dari KTE ke KTS. Kejahatan ketiganya persis seperti yang dilakukan Gayus Tambunan, yakni dengan tujuan proses penjulan saham senilai Rp 576 miliar dikenai pajak lebih ringan dari yang seharusnya.

Jaksa senior pengganti Marwan Effendy ini menambahkan, Jumat kemarin dirinya telah menandatangani surat permohonan pemeriksaan Awang dan sudah di tangan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Untuk mempercepat turunnya izin pemeriksaan dari presiden, Pidsus Kejagung berencana menggelar ekspose di Sekretariat Negara bahwa benar Awang Faroek diduga telah melakukan pidana korupsi.

TAK PROFESIONAL

Sementara pengacara Awang Faroek, Hamzah Dahlan menuding kejaksaan bekerja tak profesional sampai akhirnya menetapkan kliennya sebagai tersangka. Ini bisa dibuktikan dari pertemuan tanggal 22 Agustus 2008. Menurut mantan jaksa ini, Awang Faroek tak pernah menghadiri RUPS KTE. Data yang ada, di hari itu acara yang dihadiri Awang adalah RUPS Kutai Timur Investment (KTI) dilanjutkan dengan pertemuan Muspida Kutim di Jakarta.

"RUPS KTE itu klien saya nggak hadir. Nggak bener itu. Kejaksaan tidak profesional dan tak jeli. Nggak melihat fakta yang ada, sebab menetapkan tersangka seseorang tanpa konstruksi hukum yang kuat," katanya, seraya mempertanyakan langkah penyidik yang berani menetapkan tersangka tanpa sekalipun memeriksa Awang selama proses penyidikan Anung ataupun lainnya.

Hamzah balik menyebutkan seharusnya yang layak jadi tersangka adalah anggota DPRD Kutim. Pasalnya, merekalah yang menyetujui penjualan saham, sedangkan Awang justru meminta agar uang ratusan miliar itu dimasukan ke kas daerah di Bank BPD Kaltim Cabang Kutim sesuai surat No 900/508/X/2008 tanggal 29 Oktober 2008.

Dijelaskannya, dimulai perjanjian antara Pemkab Kutim (diwakili Bupati Mahyudin) dengan Dirut Bumi Resources (BR) Ari Saptari selaku pemegang saham mayoritas KPC, tertanggal 29 Juli 2003, Pemkab setuju membeli saham KPC yang ada di Sangatta Holding dan Kalimantan Coal Ltd.

Realisasi persetujuan itu, pada 13 Oktober 2003 dibeli 300.000 saham kemudian tanggal 25 Februari 2004 dibeli lagi sejumlah 558.000 saham. Awang yang mundur karena mengikuti pilkada Kaltim namun tak terpilih, lanjut Hamzah, kemudian terpilih lagi sebagai Bupati Kutim dan menerima jabatan dari Mahyudin tanggal 14 Agustus 2006. Di kepemimpinan Awang inilah muncul surat tertanggal 14 Agustus 2006 yang memohon pada DPRD agar menjual saham 5 persen itu. Lewat surat Keputusan No X tertanggal 18 Agustus, DPRD menyetujui dengan pertimbangan saham lebih menguntungkan jika dijual, syarat lain pembeli adalah yang menawar tertinggi serta segala biaya yang ditimbulkan dari proses penjualan ini dibebankan pada APBD.

Anung Nugroho selaku Dirut KTE kemudian menerbitkan penawaran terbuka di media massa pada 19 Agustus 2006 yang akhirnya dimenangkan PT Minang Nurdanindo --belakangan diketahui sebenarnya PT Kutai Sejahtera-- senilai Rp 576 miliar. "Begitu tahu sahamnya laku, Awang kemudian keluarkan surat No 900 itu. Isinya agar disimpan di BPD," tegas Hamzah.

Disaat kliennya nonaktif karena tengah mempersiapkan pencalonan sebagai Gubernur Kaltim, turunlah surat dari DPRD Kutim. Surat No 139/Prs.DPRD.XI.2008 tanggal 13 November 2008 ditanda tangani Ketua DPRD Mujiono ini menyebutkan bahwa sesuai surat Bupati No 900, KTE diizinkan mengelola Rp 576 miliar. Rinciannya, Rp 15 miliar sebagai penyertaan modal KTE yang ditanamkan di BPD, jasa keuangan USD 35 juta, investasi di UKMK sebanyak USD 5 juta, dan pajak serta biaya operasional USD 8 juta.

"Yang BPD itu tak terealisasi. Anehnya, surat nomor 139 menolak agar keputusan DPRD itu diperdakan. Jadi bukan Awang yang mau tapi DPRD, " kata Hamzah.

 Melihat dari sikap Kejagung yang menetapkan kliennya, Hamzah menduga cara kerja penyidik hanya berpedoman pada surat nomor 139, sedangkan nomor 900 dari bupati tak diperhatikan. Padahal, semua data yang disita penyidik di Pemkab Kutim disaksikan dirinya. Hamzah juga menyindir niat ekspose di Sekneg, di mana menurutnya diluar kelaziman proses penyidikan kejaksaan yang diketahuinya. "Setahu saya, permohonan izin kepala daerah itu cukup dengan resume dan bukti yang valid bahwa yang mau diperiksa itu memang diduga kuat melakukan pidana," ujarnya lagi.(pra)  

berita selengkapnya di http:kaltimpost.co.id  
2 komentar

2 komentar :

  1. TANGKAP DAN ADILI JIKA BERSALAH

    BalasHapus
  2. sebaiknya kita cermat dalam melihat kasus ini, jagan-jagan ada pihak yang "bermai"
    so jagan sampai kita turut dipermainkan oleh kepentingan para elit
    bravo KPMKT

    BalasHapus

Silahkan masukkan komentar anda, TIM admin akan segera membalas, dan memberikan jawaban terhadap pertanyaan anda,